Senin, 12 Mei 2008

Jangan Merusak Nasionalisme untuk Keuntungan Sesaat

Semangat nasionalisme Indonesia diuji kembali dengan diselenggarakannya ajang bergengsi Bulutangkis Thomas dan Uber Cup 2008 di Istora Senayan. Masyarakat cukup antusias menyambutnya. Hal ini didukung oleh media massa yang terus mempromosikan kegiatan ini. Mulai dari masyarakat kelas bawah hingga artis yang dianggap papan atas turut pula hadir untuk memberikan semangat dan dukungan bagi Tim Merah Putih. Dari masyarakat yang tinggal dekat dengan tempat hajatan sampai daerah-daerah yang mesti ditempuh sehari semalam naik kereta seperti Malang. Hampir semua kalangan tersihir dan demam Badminton. Belum lagi ditambah penggemar fanatik Bulutangkis yang menonton melalui layar kaca, walau hanya sepekan pelaksanaannya, rating acara Bandminton pasti melonjak naik, mengalahkan popularitas kontes-kontes nyanyi di stasiun televisi lainnya.

Namun nasionalisme ini kembali dinodai dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Masyarakat yang telah antusias menyaksikan dan memberikan dukungan secara langsung di senayan, terpaksa harus mengurungkan niatnya karena tiket telah habis. Padahal, mereka datang sejak pukul 06:00 pagi sugguh aneh bila tiket sepagi itu bahkan loketnya sekalipun belum dibuka karcis pertandingan telah habis terjual. Kalau pun ada yang menjual disekitar loket, harganya sudah tiga kali lipat dari harga normal sekitar Rp.25 rb. Ada indikasi, tiket dijual ke calo-calo dan “orang dalam senayan” sehingga tiket yang jumlahnya terbatas tersebut telah habis.

Kejadian yang sama terulang pada perhelatan sepakbola di senayan pula, masyarakat yang telah mengantri tiket selama berjam-jam, harus menelan pil pahit karena kehabisan tiket dengan harga normal. Tiket yang masih ada hanya tiket dengan harga mahal. Sebesar apapun semangat nasionalisme seseorang untuk mendukung Tim Merah Putih baik Sepak Bola maupun Badminton atau olahraga favorit lainnya, pasti semangat yang mereka bawa dari rumah sudah tidak seratus persen lagi, semangat boleh tinggi, kalau kekurangan ongkos dan kehabisan tiket, semangat tersebut akan surut juga. Tertinggal kekecewaan yang mendalam yang ada dihati. Merah putih dan atribut lainnya disimpan kembali. Pulanglah mereka dengan tangan hampa.

Ibarat sepak bola, suporter adalah pemain ke-13 yang memberikan semangat dan dukungan terus menerus selama pertandingan berlangsung. Secara psikologis, pemain yang didukung akan bertambah semangat sementara lawannya akan terpengaruh pola permainannya. Suporter pada Badminton ibarat pemain ke dua pada pemain tunggal dan pemain ke tiga pada ganda dan ganda campuran. Kehadiran suporter memberikan tenaga baru yang senantiasa berkobar dan membantu bagi atlet yang bertanding. Dan sekali lagi, kondisi ini dinodai oleh oknum-oknum yang hanya mencari keuntungan sesaat. Tim Indonesia yang seharusnya semangat karena didukung oleh suporter yang banyak, harus merasa cukup dengan suporter seadanya. Hidup boleh susah, tapi jangan rusak nasionalisme demi keuntungan sesaat.

Malang, 12 Mei 2008 Pukul 11:18

Minggu, 04 Mei 2008

Menyontek = Kejahatan Pendidikan

Secara sadar atau tidak salah satu dari pembaca telah melakukan perbuatan ini, termasuk penulis sendiri yang melakukannya sejak SD hingga semester 2 perguruan tinggi. Mulai dari menyontek sesama teman dan memusuhinya bila tidak diberikan contekan, buat catatan kecil atau fotocopy bahan menjadi ukuran supermini sampai kelihaian kaki yang membuka catatan yang berada di lantai. Bukan berarti semakin lama semakin lihai tetapi tergantung kondisi “keamanan” waktu itu.

Maaf bukan bermaksud lari dari kenyataan dan kebobrokan yang telah penulis perbuat tapi penulis memiliki keterbatasan dalam mengingat dan seakan-akan pelajaran yang disampaikan susah untuk ditelaah atau mungkin pengajarnya yang kurang menarik dalam menyampaikan materi. Apapun alasannya penulis sadar telah melakukan kejahatan pendidikan. Itulah masa lalu yang harus diperbaiki. Penulis sadar tindakan tersebut hanya kebohongan semata, membohongi diri dan mengambil nilai terbaik yang bukan hak penulis. Melaksanakan jalan singkat untuk kegembiraan sesaat, karena nilai yang diperoleh bukan untuk dibanggakan dan ada perasaan malu dan bersalah pada diri, pada guru/dosen, pada teman-teman yang telah meluangkan waktunya selama semalam atau beberapa pekan sebelumnya untuk ujian dan tentunya pencipta otak yang Subhanallah hebatnya Allah swt. Walhasil ilmu yang diperoleh tidak menghasilkan manfaat apa-apa karena diperoleh dengan jalan yang salah.

Sungguh berat meninggalkan kebiasaan yang mudah dan beresiko tinggi, namun tahukah Anda, bila saja nilai itu adalah sebuah makanan tentunya rasanya sangat enak dan bergizi serta memberikan energi yang positif bagi kita. Bagus atau buruknya adalah bukan susbtansi yang mendasar tetapi bila diperoleh dengan cara yang benar tentu lebih nikmat dan sebuah kebanggaan permanen bagi diri sendiri, bukan untuk dipamerkan pada khalayak ramai, tapi sebuah kebanggaan. Walaupun ada teman kita yang memperoleh nilai yang sama tetapi bukan dengan cara yang halal dan ia bangga dengan itu, bagi penulis adalah sesuatu yang buruk. Kalau sudah menjadi kebiasaan memang sulit untuk ditinggalkan apalagi menyangkut nama baik dan tampang, tapi bukan berarti tak ada jalan keluar sepanjang kita berusaha Insya Allah selalu ada jalan dan Dia akan menuntun orang yang mau merubah gaya hidupnya. Walau jalan yang dihadapi penuh duri dan berliku.

Ada kemungkinan orang-orang disekitar kita yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik kelas teri maupun kakap (bukan tidak mau peningkatan kelas dari teri ke kakap tapi hanya menunggu waktu saja), berawal dari kebiasaannya menyontek dibangku sekolah. Selama waktu berlalu mental korupsinya pun terbentuk, KKN atas usaha dan waktu yang diperlukan untuk sebuah nilai yang bukan haknya. Mereka tumbuh bersama mental tersebut sehingga begitu ada peluang langsung diaplikasikan. Maka jangan heran bila KKN sulit diberantas walau dibuat organisasi semacam KPK ratusan. Karena memang akarnya berawal dari sistem pendidikan yang kurang baik dan lemahnya sistem pengawasan diri dan lingkungan.

Bila saja orang sadar bahwa yang dia butuhkan bukan nilai tetapi ilmu dan pengetahuannya. Apalah arti nilai tinggi bila ilmu dan pengetahuan tidak dimilikinya, inilah yang dikembangkan bukan nilai kan ???. hal yang perlukan ketika kita akan bekerja bukalah nilai tetapi kemampuan ilmu dan pengetahuan serta skill kita. Oleh karena itu perbaikan sistem pendidikan Indonesia sekali lagi harus mendapat perhatian yang besar. Insya Allah, bila pendidikan terlaksana dengan baik, masalah-masalah yang lain akan terselesaikan. Masalah kemiskinan akan selesai bila orang mememiliki SDM untuk bersaing baik di negeri sendiri maupun di negeri orang lain. Masalah kelangkaan bahan bakar akan selesai bila banyak tercipta energi-energi terbaru dan masalah-masalah lainnya.

Dan artikel ini akan ditutup dengan sebuah Hadist Rasulullah Saw : “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”. Tentunya yang dimaksud hadist ini adalah menuntut ilmu dan pengetahuan yang baik, dengan cara yang baik dan untuk diaplikasikan melalui cara yang bijak dan bertanggungjawab.

Malang, 3 Mei 2008, Pukul 17:27

Potret Pendidikan Indonesia

Hari ini kembali diperingati sebagai “Hari Pendidikan Nasional”. Hari untuk mengenang dan introspeksi pendidikan di Indonesia saat ini. Namun masih pantaskah negeri ini merayakannya dengan upacara bendera atau berbagai lomba sementara banyak anak-anak Indonesia yang belum mengenyam pendidikan sedikitpun. Masih banyak anak yang terpaksa putus sekolah karena biaya yang tidak terjangkau dan tentunya masih banyak anak yang terpaksa berada di jalanan untuk menyambung biaya hidup dan sekolahnya.

Kita harusnya bersedih dengan pendidikan kita. Sebagai contoh, pelaksanaan ujian nasional pada level SD hingga SMA menambah borok pendidikan Indonesia. Dimana Para pendidik termasuk Kepala Sekolah salah satu SMA di Sumatera Barat yang notabene adalah seorang pendidik dan harusnya dijadikan contoh/panutan kompak memberikan dan memperbaiki lembar jawaban siswanya agar siswanya bisa lulus dan mengharumkan nama sekolah karena tidak ada siswanya yang tidak lulus. Mereka berdalih sekolah lain juga melakukan hal yang sama dan mereka tidak tega melihat siswa dan orang tua siswa yang harus bersedih karena tidak lulus. Apapun alasannya, seharusnya para pendidik tidak melakukan hal tersebut, merekalah yang mengajarkan norma-norma kepada siswa, namun mereka pula yang melanggarnya. Hal ini akan berimbas pada ujian masuk perguruan tinggi, karena mereka lulus SMA dengan cara-cara yang tidak benar, ujian masuk perguruan tinggi pun siswa tersebut akan mencari “kemudahan” karena semenjak SMA pun mereka diajar demikian, bisa jadi ketika masuk dunia kerja pun demikian. Rantai ini harus diputus agar kualitas anak indonesia bukan mental karbitan dan jalan pintas, sehingga manusia Indonesia berkualitas lebih baik karena berawal dari proses yang baik.

Kelakuan para pendidik dan siswa tentu saja berasal dari ketidakmampuan mereka dalam menghadapi ujian nasional. Ketidakmerataan kualitas pendidikan dan kemampuan siswa harus dilawan oleh suatu sistem penentu kelulusan siswa yang notabene tidak berpihak pada siswa. Sekolah yang memiliki siswa kualitas pendidikannya dibawah rata-rata diuji dengan standar soal yang begitu berat belum lagi standar kelulusan yang semakin tinggi 5.25 sehingga banyak siswa kemungkinan tidak lulus, dan akhirnya memaksa sekolah untuk “kreatif” menyiasati sistem tersebut agar siswanya lulus dan nama baik sekolah tidak tersemar. Buat apa dipaksakan suatu sistem kelulusan yang membuka celah-celah kejahatan. Buat apa memaksakan standarisasi kelulusan sedangkan kualitas pendidikan yang sekolah berikan seadanya. Karena ketidakmerataan kualitas pendidikan dan anak didik, tidak ada legalisasi untuk menyamatakannya. Dengan kata lain, kelulusan siswa tidak ditentukan oleh ujian nasional tetapi ditentukan oleh sekolah, karena sekolah masing-masinglah yang memberikan pelajaran sehingga tau standar kemampuan siswanya. Nanti ketika melanjutkan ke tahap berikutnya dilakukan lagi ujian masuk dengan standar sekolah atau universitas yang akan dituju.

Bagaimana pun juga ketidakjujuran dalam kelulusan adalah kejahatan pendidikan/ kriminasasi pendidikan sedangkan pemicu dari kejahatan pendidikan harus ditiadakan dengan dihapuskannya ujian nasional. Paling tidak semakin sempitlah ruang kriminasasi dalam pendidikan. Dengan proses pendidikan dan sistem yang sesuai, kualitas pendidikan Indonesia akan semakin meningkat. Bangku sekolah bukanlah tempat pendidikan kejahatan, tetapi pendidikan yang sebenar-benarnya mendidik ilmu dan pengetahuan dengan cara-cara yang bernorma.

Malang, 2 Mei 2008, pukul 11:30