Minggu, 04 Mei 2008

Potret Pendidikan Indonesia

Hari ini kembali diperingati sebagai “Hari Pendidikan Nasional”. Hari untuk mengenang dan introspeksi pendidikan di Indonesia saat ini. Namun masih pantaskah negeri ini merayakannya dengan upacara bendera atau berbagai lomba sementara banyak anak-anak Indonesia yang belum mengenyam pendidikan sedikitpun. Masih banyak anak yang terpaksa putus sekolah karena biaya yang tidak terjangkau dan tentunya masih banyak anak yang terpaksa berada di jalanan untuk menyambung biaya hidup dan sekolahnya.

Kita harusnya bersedih dengan pendidikan kita. Sebagai contoh, pelaksanaan ujian nasional pada level SD hingga SMA menambah borok pendidikan Indonesia. Dimana Para pendidik termasuk Kepala Sekolah salah satu SMA di Sumatera Barat yang notabene adalah seorang pendidik dan harusnya dijadikan contoh/panutan kompak memberikan dan memperbaiki lembar jawaban siswanya agar siswanya bisa lulus dan mengharumkan nama sekolah karena tidak ada siswanya yang tidak lulus. Mereka berdalih sekolah lain juga melakukan hal yang sama dan mereka tidak tega melihat siswa dan orang tua siswa yang harus bersedih karena tidak lulus. Apapun alasannya, seharusnya para pendidik tidak melakukan hal tersebut, merekalah yang mengajarkan norma-norma kepada siswa, namun mereka pula yang melanggarnya. Hal ini akan berimbas pada ujian masuk perguruan tinggi, karena mereka lulus SMA dengan cara-cara yang tidak benar, ujian masuk perguruan tinggi pun siswa tersebut akan mencari “kemudahan” karena semenjak SMA pun mereka diajar demikian, bisa jadi ketika masuk dunia kerja pun demikian. Rantai ini harus diputus agar kualitas anak indonesia bukan mental karbitan dan jalan pintas, sehingga manusia Indonesia berkualitas lebih baik karena berawal dari proses yang baik.

Kelakuan para pendidik dan siswa tentu saja berasal dari ketidakmampuan mereka dalam menghadapi ujian nasional. Ketidakmerataan kualitas pendidikan dan kemampuan siswa harus dilawan oleh suatu sistem penentu kelulusan siswa yang notabene tidak berpihak pada siswa. Sekolah yang memiliki siswa kualitas pendidikannya dibawah rata-rata diuji dengan standar soal yang begitu berat belum lagi standar kelulusan yang semakin tinggi 5.25 sehingga banyak siswa kemungkinan tidak lulus, dan akhirnya memaksa sekolah untuk “kreatif” menyiasati sistem tersebut agar siswanya lulus dan nama baik sekolah tidak tersemar. Buat apa dipaksakan suatu sistem kelulusan yang membuka celah-celah kejahatan. Buat apa memaksakan standarisasi kelulusan sedangkan kualitas pendidikan yang sekolah berikan seadanya. Karena ketidakmerataan kualitas pendidikan dan anak didik, tidak ada legalisasi untuk menyamatakannya. Dengan kata lain, kelulusan siswa tidak ditentukan oleh ujian nasional tetapi ditentukan oleh sekolah, karena sekolah masing-masinglah yang memberikan pelajaran sehingga tau standar kemampuan siswanya. Nanti ketika melanjutkan ke tahap berikutnya dilakukan lagi ujian masuk dengan standar sekolah atau universitas yang akan dituju.

Bagaimana pun juga ketidakjujuran dalam kelulusan adalah kejahatan pendidikan/ kriminasasi pendidikan sedangkan pemicu dari kejahatan pendidikan harus ditiadakan dengan dihapuskannya ujian nasional. Paling tidak semakin sempitlah ruang kriminasasi dalam pendidikan. Dengan proses pendidikan dan sistem yang sesuai, kualitas pendidikan Indonesia akan semakin meningkat. Bangku sekolah bukanlah tempat pendidikan kejahatan, tetapi pendidikan yang sebenar-benarnya mendidik ilmu dan pengetahuan dengan cara-cara yang bernorma.

Malang, 2 Mei 2008, pukul 11:30

Tidak ada komentar: